Abun Sanda, wartawan harian Kompas yang menuliskan artikel China, Kultur dan Kerja Keras dalam edisi khusus Imlek (5/2/8), seakan sebagai resume menyatakan bahwa ada tiga hal tentang China yang agaknya kurang diperhatikan publik dunia. Baik pemerintah maupun rakyatnya mempunyai talenta kuat sejak zaman peradaban manusia. Talenta itu adalah:
- kultur bisnis
- kultur kerja keras
- kebanggaan akan negaranya
Saya tidak tahu-menahu mengenai poin ketiga, namun menyaksikan peragaan atas poin 1 dan 2 dalam kehidupan keluarga saya. Sekilas pintas yang saya tahu, kakek-nenek saya adalah manusia perahu, terdampar jauh di pedalaman pulau Sulawesi. Suatu masa, api melalap semua harta benda yang tak seberapa. Dan hidup harus dimulai dari nol.
Ayah saya dan adik-adiknya, berhenti sekolah di kelas-kelas awal Sekolah Rakjat (SD) dan mengubah apa saja untuk dijadikan sumber penghidupan. Antara lain, mengubah kaleng-kaleng kosong bekas susu atau apa saja untuk dijadikan corong (untuk mengisi minyak tanah atau minyak kelapa ke dalam botol) dan dijual ke pasar. Atau kisah lain, ayah saya harus menempuh jarak sekian kilometer naik sepeda ke desa-desa di pedalaman untuk membeli minyak kelapa (baca: minyak goreng) untuk kemudian dijual lagi di “kota”. Tak mengenal malu, tak mengenal lelah.
Kultur bisnis muncul sebagai akibat keterjepitan keadaan. Kultur kerja keras juga demikian. Uji nyali telah mereka lampaui dengan menaiki perahu dan terapung-apung di lautan luas demi mencari sumber penghidupan yang baru. Dengan demikian, saya dapat melihat dengan jelas bahwa kedua kultur ini bernilai universal. Bukan hak milik tunggal orang China.
Jikalau demikian ending-nya, maka siapa pun kita, dengan etnis apa pun, dapat mengadopsi kultur ini sebagai suatu “kehendak bebas”. Barangkali yang menjadi pembeda adalah, seberapa rela kita menyingsingkan lengan baju dan mengucurkan keringat, bahkan darah, untuk menggapai sesuatu yang mulia bernilai jangka panjang, bukan demi kesenangan sesaat.
Ya, sesederhana itu, sesungguhnya…
February 8, 2008 at 2:37 am |
hi kak Khun!
Gong Xi Fat Choi ya!
Yux bekerja keras and do the best tiap tahun apapun juga hehe..
Semangat!!
April 20, 2008 at 3:55 pm |
kalo yg poin ketiga itu rasanya bs qta liat dr wujud chinatown yg trsebar d byk negara. smua msh trliat khas tanpa ada akulturasi dr budaya setempat tuh *hi3 tumben yak pritha rada pinter:-o*
April 23, 2008 at 10:47 am |
@Prith:
saya melihatnya sebagai semangat berkomunitas, dalam sepenanggungan karena penderitaan. Dengan kata lebih modern lagi, kita menyebutnya sebagai comfort zone.