Robert O. Blake, Jr., Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, telah tiba di Jakarta pada 21 November 2013 lalu untuk memulai tugasnya, setelah menjalani sumpah jabatan di Departemen Luar Negeri di Washington, D.C. pada 13 November 2013. Dengan demikian, secara resmi hadirlah sosok pengganti Scot Marciel, duta besar sebelumnya.
Scot Marciel mengakhiri masa baktinya pada bulan Juli 2013. Tidak banyak aktivitasnya dalam liputan media saat itu yang sempat saya ikuti, kecuali sebuah kesempatan di mana beliau ikut blusukan bersama Jokowi. Dengan pakaian batik beliau membaur seadanya bersama masyarakat, sebagaimana diabadikan di Youtube di sini.
Kepergian Scot Marciel menyisakan sepotong kenangan istimewa dalam hati saya, sebuah pertemuan “berdua” di dalam lift bersama istri dan pengawal pribadi beliau, yang mengisahkan tentang keluguan saya dan kepiawaian diplomasi duta-duta bangsa dan negara Amerika Serikat.
Kisah itu bermula dari sepucuk undangan yang dikirimkan oleh Torill Iversen Wanvik, Ambassadesekretær/First Secretary, kedutaan besar Norwegia. “I am contacting you because the Norwegian crime author and world bestseller Jo Nesbø is coming to Jakarta in the period of 22rd to 26th January upon invitation of the Norwegian Embassy in Jakarta.”
Malam itu saya hadir tanpa pretensi apa-apa. Mengira yang hadir hanyalah masyarakat Norwegia di Jakarta dan seniman-seniman Indonesia, dengan langkah ringan saya memasuki lobi dan ikut dalam deretan antrean lift untuk naik ke kediaman dubes. Saat orang-orang tak mau maju mendekat ke pintu lift, saya dengan santai mengisi tempat itu. Tiba-tiba seorang perempuan, usai bercakap-cakap dengan orang lain dan hendak berdiri di depan saya, ditahan oleh seorang pria untuk antre di belakang saya.
Dua orang petugas bertubuh tegap gagah perkasa “mengurus” lift saat terbuka. Dengan santai saya berjalan masuk, kemudian disusul pasangan suami-istri ini. Selebihnya, tak ada orang lain yang masuk. Entah ke mana orang-orang yang mengantre tadi.
Pasangan ini mengangguk dan tersenyum ramah kepada saya. Saat menatap pria tersebut, kepala saya kemudian melakukan loading. Rasa-rasanya, saya pernah tahu pria ini. Tapi, saya gagal mengingatnya. Saat lift bergerak, beliau menyalami saya dan memperkenalkan istrinya. Mendengar namanya disebutkan, disusul perempuan itu menyebutkan namanya, “Mae”, loading di kepala saya pun selesai. “Astaga,” pekik saya di dalam hati. “Pria ini kan duta besar Amerika Serikat!”
Saya masih diam dalam shock saat beliau mengajak ngobrol beberapa hal. Dan ketika Ibu Mae mengajak dua pria perkasa itu bercakap-cakap, sadarlah saya bahwa pria-pria gagah ini bukanlah “pengatur lift”, melainkan pengawal pribadi dubes Amerika. Dan, terjawab pula mengapa orang-orang tidak berebut antrean dan tidak ikut masuk dalam lift bersama kami.
* * *
Sudah lama saya tidak terkejut dengan kepiawaian duta-duta Amerika, dalam bidang apa pun, terutama pejabat pemerintah dalam berdiplomasi. Mereka dipersiapkan dengan sangat baik, termasuk mengenal siapa kita secara detail. Untuk hal ini, Australia perlu belajar jauh lebih banyak dan keras dari Amerika. Meskipun secara geografis lebih dekat, kenyataan tak dapat dimungkiri bahwa Amerika jauh lebih memahami (bangsa) Indonesia daripada negara tetangga yang daging sapinya dikonsumsi rakyat Indonesia sehari-hari itu.
Mereka terlatih dan selalu memiliki bahan untuk memuji Indonesia dengan angle yang cerdas. Lihat saja bagaimana kehadiran Robert O. Blake, Jr. disertai dengan unggahan Youtube ini. Cermati ucapannya, sebagian menggunakan bahasa Indonesia dalam porsi yang tepat sasaran. Lihat pula bahasa simbol “bola”, kemudian penyebutan “badminton”, serta kehadiran “sate” di video ini. Dalam menyebut penugasan oleh Presiden Obama pun, digunakan kalimat yang sangat empati, “di negara yang memiliki tempat khusus di hatinya“. Dalam soal bahasa, perlu disebutkan di sini bahwa Scot Merciel menguasai 60% bahasa Indonesia seperti pengakuannya di Youtube ini.
Namun, di atas kompetensi dasar diplomasi tersebut, perjumpaan dengan Scot Marciel di dalam lift memberi kesan yang mendalam bagi saya dalam dua hal sederhana ini. Pertama, postur tubuh beliau tidaklah menjulang; namun seperti kebanyakan orang Indonesia. Dengan demikian kita dijauhkan dari perasaan “terintimidasi” oleh tinggi badan. Perhatikan saat beliau berdampingan dengan Jokowi dalam acara blusukan tersebut.
Kedua, istri beliau, berasal dari Filipina. “Saat saya tahu kami akan pindah lagi ke Indonesia yang dekat dengan Filipina, negara asal saya, yang juga memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia, saya senang dan bersemangat sekali,” demikian kesan pertama Mae saat menjawab pertanyaan tabloid Nova. Dalam pernikahan mereka selama sekitar 20 tahun, setidaknya warna Asia telah hadir selama itu pula dalam kehidupan Scot Marciel.
Semua pengetahuan saya seusai perjumpaan tersebut, kian membuat perjumpaan di dalam lift tersebut memiliki arti istimewa. Saya berbahagia pernah berjumpa seseorang yang bukan hanya piawai dalam kompetensi formal (diplomasi) tentang Indonesia, melainkan juga seseorang yang mengenal Indonesia lebih dari diplomat lain yang belajar secara textbook.
Sebuah kenangan yang kian tak terlupakan.
Selamat menunaikan tugas baru Mr. Scot Marciel, selamat mendampingi suami tercinta Mrs. Mae Marciel. Selamat membawa keping tiga tahun pengalaman hidup bersama teman-teman Indonesia buat Lauren dan Natalie, buah hati mereka. Semoga saya berkesempatan berjabat tangan lagi dengan Anda sekeluarga, suatu saat kelak. (Sumber foto: http://www.okezone.com)
Tags: Jr, RobertBlake, RobertOBlake, ScotMarciel
Leave a Reply