Pada kisaran tahun 2008, seorang editor bahasa harian Kompas mengajak saya bergabung di Kompasiana. Namun ajakan itu belum cukup kuat untuk menggerakkan jemari saya. Alasan dia mengajak saya dan alasan saya untuk menerima, belum bertemu di titik jumpa. Sebelum tahun tersebut, memang saya sudah relatif lama ngeblog. Namun, saya mengategorikannya sebagai blog “popcorn”–ruah meriah ngepop, mirip sebuah acara TV yang saat ini sedang beken. Tidak seperti program TV yang dipandu rating, saat itu saya tidak berkeberanian menyandang atribut blogger di laman yang mengusung nama Kompas. Saya cukup tahu diri, meskipun orang-orang sering kali menyebut saya tipe orang tak pede atau rendah diri.
“Time flies like an arrow; fruit flies like a banana,” kata Anthony G. Oettinger. Setelah berbilang tahun hiatus ngeblog, usai menyelesaikan urusan pribadi di kamar bedah, saya tiba pada ranah untuk menyediakan diri guna berbagi kepada sesama–salah satunya ingin ngeblog lagi. Pada saat itulah saya kembali pada “panggilan” untuk ngeblog di Kompasiana.
Blog sebagai media bebas (dalam pagar SARA-saru) dan gratis, adalah media terbaik untuk berlatih berbagai hal berkenaan dengan ilmu dasar dalam menulis. Kontribusi terbesar dari Kompasiana, menurut saya tentunya, bukanlah tersedianya Headline atau Trending Articles, melainkan “ladang tanam” untuk berekplorasi berbagai “genre” dan gaya menulis dengan bonus kehadiran pembaca dan interaksi di dalamnya. Dalam konteks ini, orang jeli akan tahu apa perbedaan “sebab” dan “akibat”.
Secara mendasar, Kompasiana berjasa bagi kita semua dalam setidaknya tiga area nonteknis yang mendatangkan manfaat dalam membentuk pribadi prima:
- Memberi dukungan untuk mendisiplinkan diri, dalam hal ini membangun habituntuk menulis secara reguler.
- Memberi dorongan untuk memformulasikan berbagai kejadian yang kita indra dalam kehidupan sehari-hari.
- Memberi ruang untuk menata dan mematangkan kecamuk pikiran, dari bulir-bulir ide liar menjadi layak untuk dieksekusi.
- Memberi kesempatan untuk menaklukkan bahasa Indonesia dan menulis dengan rapih selayaknya yang tampil di media massa cetak terkemuka. Pada butir ini, saya selalu ngomong ke siapa pun bahwa bahasa Indonesia itu seperti kuda liar yang harus dijinakkan oleh para penulis,
Selebihnya adalah sikap dasar. Selain jenis tulisan informatif yang bersifat “kejar tayang”, saya tidak memiliki kerelaan hati lagi untuk menuliskan apa yang saya sebutposting “popcorn”. Fase itu buat saya sudah lewat, blog pribadi saya yang seperti itu telah saya Delete sekian tahun yang lalu.
Kemudian, bagaimana cara saya menulis sebuah artikel untuk blog? Ini yang ingin saya bagikan di sini. Bukan rahasia cemerlang, memang. Sekadar share, karena saya termasuk kelompok orang yang percaya bahwa ilmu itu gratis dan dengan berbagi saya tidak akan pernah kehilangan, melainkan mendapatkan dalam bentuknya yang lain.
Proses tersulit bagi saya bukanlah (menemukan) ide. Jika ada orang yang berpendapat bahwa ide itu mahal dan perlu dirahasiakan dari orang lain, pengalaman saya menunjukkan hal yang sebaliknya. Ide itu murah, bahkan sering kali murahan. Dalam sehari, Anda dapat mengumpulkan dua, lima, atau sepuluh ide. Yang termahal dalam menulis itu adalah (kemampuan) mengeksekusi sebuah ide. Inilah yang membedakan seorang penulis biasa dan seorang penerima nobel sastra, seorang pengarang serampangan dan seorang pengarang yang “dingin” (cool). Untuk mempermudah pemahaman ini, saya ambil saja contoh artikel Baku Dapa Sama Tuturuga. Sebagai orang Sulawesi, saya tertarik untuk mengikuti even ini. Nah, berikut proses kreatif yang ingin saya bagikan:
Pertama-tama dan kedua, gunakanlah helicopter view dengan kacamata out of the boxuntuk memilah dan memilih ide. Apabila Anda menulis tentang bubur Manado, misalnya, maka ide ini ada di kepala “sejuta umat”. Dan bila Anda tidak memiliki kemampuan untuk tampil bak mobil Ferari di antara angkot, maka tulisan Anda tidak akan pernah bersinar. Ketiga adalah pesan yang ingin disampaikan. Untuk ideTuturuga ini, tersirat pesan konservasi dan kreativitas.
Keempat adalah angle. Inilah bagian yang tersulit bagi saya. Ide menulis Tuturuga ini berkecamuk di dalam pikiran saya selama lebih dari satu bulan tanpa menemukanangle. Angle bagi saya adalah first line, lubang untuk memasukkan anak kunci guna membuka pintu sebuah ruang. Bacaan, tontonan, dan pengalaman hidup adalah kontributor utama yang sangat bernilai untuk menemukan angle. Angle Hiawatha saya pungut dari bacaan semasa SMP dulu, yang coba saya gali kembali dengan bantuan rekaman dalam memori saya.
Kelima, saya menyebutnya sebagai garnish, yang arti harfiahnya adalah hiasan atau menghias makanan utama. Garnish paling mendasar bagi saya adalah pemilihan kata. Pesan Arswendo Atmowiloto yang tertancap mati kepala saya adalah jangan pernah gunakan kata yang sama dalam satu kalimat. Pahami nuansa dan taste dari sebuah kata. “Bisa” dan “dapat”, misalnya, adalah dua kata dengan makna yang sama, namun keduanya perlu diletakkan secara tepat dalam sebuah kalimat agar gurih dibaca. Selain itu, ada garnish dasar kedua, yaitu diksi. Latihlah terus kemampuan berdiksi Anda, karena kerap amat dibutuhkan. Kedua hal dasar ini harus disemai di ladang waktu, proses inilah yang kita sebut revisi, revisi, dan revisi.
Garnish selanjutnya adalah unsur twist dan gimmick. Twist, kita sebut saja kelokan atau lebih vulgar “tipuan” cerita, tidak selalu bisa diterapkan pada semua tulisan–tetapi upayakanlah. Namun gimmick, sebut saja sebagai pemanis, penyegar, atau penarik perhatian, sebaiknya selalu dioptimalkan. Dalam artikel Tuturuga, kisah Hiawatha saya gunakan sebagai angle, sekaligus sentuhan twist, dan pada ending dimanfaatkan sebagai gimmick. Gimmick secara sengaja saya gunakan pada paragraf ke-6, demikian juga pada paragraf terakhir, terutama kalimat belakang yang sekaligus diberfungsikan sebagai gong penutup artikel tersebut. Buatlah gimmick yang ringan, manis, dan mengundang senyum, karena itu umumnya amat disukai pembaca.
Itulah lima butir penting yang saya berlakukan pada diri saya. Itulah proses yang berlangsung di kepala saya dalam menuliskan sesuatu secara serius. Secara naluriah, saya ingin menghindarinya karena kelima proses ini cukup melelahkan. Namun apabila proses ini berhasil dilalui, selalu ada katarsis yang tak tergambarkan. Ini yang jauh lebih bernilai daripada pujian dan penghargaan dari mana pun.
Apakah ini “metode” yang paling pas dan Anda sukai untuk dilalui? Belum tentu. Ibarat pohon, tugas saya hanyalah menumbuhkan buah-buah “berbagi” selebatnya. Selebih dari itu, Anda-lah yang beraksi dalam memetik buah-buah ini. Kata orang bijak entah dari mana, pencuri yang lihai itu tahu benar harus mencuri apa. Nah, selamat mencoba.
February 16, 2015 at 5:32 am |
Saya suka sekali tulisan anda yang ini. Walaupun panjang tapi ringan 🙂
Jangan gunakan satu kata yang sama dalam satu kalimat. Bagian ini yang saya suka
February 24, 2015 at 3:37 pm |
sama-sama, semoga bermanfaat
June 19, 2015 at 1:24 pm |
tulisannya gurih.. thanks..
June 21, 2015 at 12:01 pm |
dikasih garam secukupnya 😉
July 30, 2016 at 3:11 am |
saya ingin menulis tetapi kok gk bisa ya