Sekali Menebar Langkah, Seribu Makna Terlampaui

IMG-20141016-03567Suara decit pertama kaki kereta Sancaka mengakhiri keraguan saya. Plan B tak selalu lebih jelek, maka saya pun tiba pada keputusan untuk berjalan kaki—bukan duduk tenang di dalam yang sejuk taksi untuk mencapai tujuan. Menyanggong ransel, saya berdiri dalam antrean untuk menapaki koridor Stasiun Gubeng. Seorang diri, saya menyeruak dari arus besar yang mengalir ke arah pintu keluar utama di sisi Jalan Gubeng Masjid. Sebaliknya, saya berbelok ke kanan,  melintasi beberapa rel, dan menyusup di pintu bertuliskan KELUAR. Dahulu, inilah sisi utama Stasiun Gubeng—lebih dekat ke arah pusat kota.

Terik matahari siang kota Surabaya menyambut kehadiran saya. Sambil melemaskan tubuh, saya menanti kesempatan menyeberang jalan. Dan, tap-tap-tap, saya pun melintasi Jalan Stasiun Gubeng dan Jalan Gubeng Pojok hingga mencapai Jalan Pemuda dan berdiri di atas jembatan dengan pemandangan Sungai Kalimas. Saya menghentikan langkah dan melayang mata. Airnya mengalir lancar. Di kejauhan, dalam siluet siang, tampak pemandangan khas urban. Sebuah mal baru telah berdiri di sana.

IMG-20141016-03568

Melanjutkan langkah, saya melirik ke sisi kiri. Wow, sejak kapan ada Ruang Terbuka Hijau (RTH) di sana? Seingat saya, dahulu ketika hendak berbelok ke Jalan Kayoon, tidak ada hal menarik di sana. Kini, menyegarkan mata. Meskipun tak luas, RTH itu tampak asri dipadu dengan bangku taman. Sementara di sisi kanan, Monumen Kapal Selam masih hadir di sana. Saya lalu melipir, menyusuri koridor Plaza Surabaya untuk sekadar mencari keteduhan.

Kini, mal ini ramai. Berbeda pada masa awal beroperasinya dengan nama Delta Plaza. Lengang dan dihiasi kisah-kisah seram dan angker. Mal ini berdiri di atas bekas Rumah Sakit Simpang yang merawat korban pada masa perang kemerdekaan. Banyak nyawa yang melayang di sini. Salah satu kisah yang beredar, sering terjadi penampakan suster gepeng. Namun, manajemen baru, penataan ulang, serta berlalunya waktu membuat segala cerita itu tak dikenali lagi jejaknya.

Saya menapaki sisi plaza ini dengan isi perut yang menari dipicu aroma makanan siap saji yang menyeruak menjemput hidung saya. Oya, di dalam plaza ini ada oulet rujak cingur yang enak dan terkenal. Namun kali ini saya kurang berminat. Dalam gegas langkah, saya masih sempat melirik Gedung RRI yang bersejarah itu—masih eksis dan tak minder dengan gedung perkantoran megah yang menjadi tetangganya.

Di simpang empat yang mempertemukan Jalan Pemuda, Jalan Yos Sudarso, Jalan Gubernur Suryo, dan Jalan Panglima Sudirman, saya sempat mengalami kesulitan untuk menyeberang. Lalu lintas padat dengan kecepatan yang tidak berkurang. Untung ada juga kendaraan yang masih respek pada pejalan kaki dengan ransel alabackpaker seperti saya, sehingga saya pun mencapai trotoar Jalan Gubernur Suryo.

Melintasi Balai Pemuda, saya membiarkan kenangan bergayut. Di sini dulu ada bioskop favorit, namanya Mitra. Di belakang biskop ini, ada kelompok teater bernama Bengkel Muda Surabaya (BMS). Saya pernah latihan teater di situ. Tidak lama, hanya dalam rangka pentas seni sekolah. Agak belakang, pada masa itu ada gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Terasnya yang luas, menjadi tempat kami berkumpul dan berdiskusi dan belajar menulis secara berkala.

Melanjutkan langkah, saya menyeberang ke sisi lain. Ada Radio Suzana, ada kantor pos, dan ada soto Surabaya tempat saya melunasi perut yang keroncongan. Soto di sini, mudah dikenali sebagai soto Jawa Timur melalui penampakan koya di permukaannya. Sambil menyantapnya, saya mengenang Radio Suzana. Radio ini pernah jaya melahirkan boneka Suzan yang terkenal ke seantero nusantara. Dan, ada yang unik. Setiap penyiar di sini, harus memiliki nama alias yang berakhiran O. Beberapa nama yang mampu saya ingat adalah penyiar bernama Dino dan Victorio.

Tuntas menyantap soto, saya sengaja melangkahkan kaki melewati Taman Surjo. Patung Gubernur Surjo berdiri gagah, menghadap ke Balaikota. Taman di seputarnya, di area Taman Apsari, terlihat asri. Beberapa pelajar tampak sedang bercengkerama. Setelah itu, saya memelankan langkah melewati pengkolan jalan di depan Tunjungan Plaza. Beberapa toko dengan bangunan kuno di sini, masih aktif. Di selasarnya, seorang pelukis menjajarkan hasil karyanya.

IMG-20140307-01094

Saya mengembuskan napas panjang dan terus melangkah. Percikan-percikan kenangan yang saya lalui, tanpa terasa telah memperpendek jarak kaki saya mencapai tujuan. Hingga akhirnya saya berdiri di depan sebuah gedung bernama Gramedia Expo. Menakjubkan. Masih terbayang di depan mata saya bagaimana toko Gramedia ini di masa lalu. Bangunan lama, buku berjubel, dan disesaki pengunjung—itu ingatan dalam benak saya. Di sisi kirinya dulu, jadi markas redaksi harian Surya. Mahasiswa psikologi sering bertandang ke sini untuk menjadi tim konseling yang sedang dikembangkan oleh Esthi Susanti, salah seorang redaksi.

Di sinilah destinasi akhir langkah saya. Dalam pertemuan dengan beberapa orang hingga malam nanti, saya cukup berjalan kaki untuk menuju hotel tempat saya menginap.

* * *

Itulah pengalaman saya berjalan kaki, yang berulang dan selalu diulangi bila saya dinas di kota Surabaya. Rute yang saya tempuh membentuk huruf L. Ini amat berbeda bisa saya naik taksi, harus berputar dan U-turn cukup jauh sesuai dengan rambu. Mungkin lebih cepat dan saya sempat check in, bahkan sempat mengaso sejenak sebelum berjumpa relasi. Tapi “kerugian” yang tidak signifikan itu terbayarkan oleh tebaran kenangan yang sangat mengesankan. Itu jauh lebih mahal, apa lagi bila ditambahkan dengan “harga” saya menyesaki jalan, mengkonsumsi BBM, memboroskan AC, serta menebar emisi tak sehat bagi orang Surabaya.

Selain itu, berjalan kaki mendatangkan banyak manfaat pribadi. Membuat pikiran lebih rileks, melatih kepekaan pada lingkungan, membangkitkan perhatian pada detail, serta memperkuat stamina tubuh. Bagi saya, masih ada manfaat lain yang tak kalah bergengsinya. Kita dapat menjadi relawan bagi Pasangmata.com atau TMC Polri melalui foto-foto yang melaporkan kondisi trotoar, tebaran sampah sembarangan, kerusakan jalan, pelanggaran lalu lintas, atau kemacetan.

Trotoar berlubang di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya

Lubang menganga di trotoar Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya

Penutup lubang yang rusak di trotoar dekan Stasiun Gambir, Jakarta

Trotoar retak di kawasan Blok M, Jakarta

Multi-dimensi dan multi-manfaat untuk aksi sederhana ini. Tidak diperlukan perlengkapan macam-macam, dan tidak terlampau melelahkan bila Anda tahu trik sederhananya. Anda hanya perlu melangkah dengan irama yang konsisten. Jika Anda sedang mengejar waktu, jangan tergesa-gesa dengan langkah memburu. Cukup panjangkan ayunan kaki Anda, dalam irama yang tetap konsisten.

Selamat mencoba dan merasakan nikmatnya. Selalu ada kisah menarik pada setiap jalan yang Anda jejaki. Dan percayalah, mengayun langkah akan membuat Anda ketagihan. Dengan aksi kecil dan sederhana ini, Anda sudah berdiri di barisan paling depan sebagai Pahlawan Hijau.

#Jogjahijau #KonsumsiHijau #Don’t(just)Recycle!ThinkFirst

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s


%d bloggers like this: