Saya lahir di kota Donggala (Sulawesi Tengah) dan tumbuh besar diiringi kenangan indah. Donggala adalah sebuah kota kecil yang mungkin tidak akan dilirik oleh siapa pun di masa kini, namun namanya abadi tertoreh di boardgame (permainan) Monopoli. Kota ini dulunya dikenal sebagai kota pelabuhan dengan aktivitas utama pengiriman kopra ke luar daerah.
Kopra adalah daging dari buah kelapa yang dikelupas dan dikeringkan dengan cara tradisional di jemur di bawah terik matahari. Dari daging buah kelapa yang semula berwarna putih, seiring dengan lamanya penjemuran akan berubah menjadi warna kecoklatan. Kopra merupakan bahan baku pembuatan minyak kelapa dan turunannya.
Saya suka memungut kopra yang berceceran di jalan dan mencuil kecil benda kecoklatan itu, lalu memencetnya dengan gemas. Seperti agar-agar dalam formatnya yang lebih keras. Perlahan, dari antara kuku dua jempol saya, keluar cairan berupa minyak. Sesekali saya menghirup aromanya yang khas.
Saya masih bisa mengingat aroma kopra yang kerap saya hirup di masa kecil itu. Dalam skala kecil, penduduk menjemurnya di depan rumah hingga menjorok ke jalan. Dalam skala besar, berkarung-karung kopra menaiki banyak truk yang secara ajek datang entah dari daerah mana lalu masuk gudang, menanti giliran untuk dikirim menggunakan kapal-kapal kayu.
Aroma kopra kian menyengat bila kami bermain di pelabuhan selepas sekolah. Gudang-gudang dalam skala besar di tepi pelabuhan disusun membubung tinggi sehingga membuat kami, anak-anak di usia Sekolah Dasar, takjub. Orang-orang dengan otot kuat luar biasa tampak sibuk memikul karung per karung meniti papan menaiki kapal.
Seiring berlalunya waktu, dalam benak anak-anak yang belum mampu melakukan analisis, saya bisa merasakan pelabuhan tidak lagi seramai dulu dan gudang-gudang tak lagi membubung tinggi oleh karung-karung hingga ke atap.
* * *
Saya tak lagi mengingat namanya. Sebagai anak kecil saya menandai paman itu seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah asing. Ia tidak fasih berbahasa Indonesia. Dalam percakapan orang dewasa, saya mendengar ia disebut berkewarganegaraan Taiwan. Namun, tampaknya dalam darahnya mengalir garis turunan Jepang. Alasan saya sederhana saja, wajahnya tidak seperti orang tionghoa dan ia kerap mengajarkan kata-kata dalam bahasa Jepang.
Paman itu hanya datang sesekali ke kota Donggala dan sering membawa sesuatu. Sesuatu yang selalu saya ingat itu adalah suvenir sederhana berbahan kayu hitam (ebony). Ia pernah membawa tongkat panjang seperti pendekar, dan sesekali yang pendek.
Percakapan orang-orang dewasa di sekitar saya membuat saya kian tahu bahwa paman itu adalah pekerja asing dari Taiwan yang tugasnya adalah masuk hutan dan menebang kayu hitam (ebony) untuk diekspor ke luar negeri.
Dalam kedatangannya yang kerap ke kota Donggala, ia sempat memanfaatkan waktu mengumpulkan anak-anak di rumah saya dan mengajarkan pelajaran dasar bahasa Mandarin. Tapi itu tak berlangsung lama. Kami belum mampu berbicara dalam bahasa Mandarin saat ia kemudian “menghilang” dalam tempo lama. Kelak saya mendengar cerita bahwa masa kontraknya telah selesai dan ia pulang ke negaranya.
* * *
Rotan adalah hasil bumi ketiga yang mengisi penglihatan saya di masa kecil. Bertruk-truk datang entah dari mana, dihelat di lapangan atau tempat terbuka yang luas. Entah diproses bagaimana atau diapakan. Setahu saya secara berkala benda itu kemudian “hilang” dikirimkan melalui kapal. Lalu datang lagi yang baru. Demikian seterusnya.
Teman sebangku saya, mengaku bahwa ayahnya pebisnis rotan. Ayahnya, katanya, adalah eksportir rotan. Kami belum tamat menjalani masa Sekolah Dasar ketika tiba-tiba ia berpamitan karena ia dan keluarga akan pindah ke Palu, ibukota propinsi yan berjarak 34 km dari Donggala.
Kisah yang kemudian beredar, telah keluar peraturan pemerintah bahwa rotan tidak boleh lagi diekspor. Rotan harus diolah menjadi sebentuk karya seni atau kerajinan sebelum diekspor. Keluarga ini tidak mampu mengolahnya dan memilih mencari bisnis lain di ibukota propinsi.
* * *
Waktu bergerak, memasuki usia remaja saya kian terbiasa bahwa pelabuhan Donggala tak lagi “berfungsi”. Pelabuhan untuk bisnis telah dipindah ke tempat laindi dekat Palu. Sejak itu, denyut dan aktivitas ekonomi di Donggala kian sederhana. Ketiga hasil bumi yang menjadi andalan “kemeriahan” perekonomian lokal, telah tinggal kenangan. Sampai kemudian saya merantau, melanjutkan pendidikan di kota Surabaya sejak bangku SMA dan kuliah, lalu pindah lagi ke Yogyakarta untuk bekerja hingga kini. Tanpa pernah bersentuhan lagi dengan kehidupan hasil bumi, hasil alam, sumber daya alamiah.
Tiga kisah itu melempar saya ke masa lalu dalam kubangan kenangan melakolis. Berhari-hari mengikuti langkah pikir saya, hingga akhirnya saya memutuskan untuk mengenal kembali dalam bentuknya yang lain di masa kini, yaitu dorongan yang sangat kuat untuk menuliskan keinginan mengikuti Newmont Bootcamp V 2016. Tiga kenangan masa kecil yang tak terlupakan itu menerbit sekeping harapan untuk diwujudkan. []
February 5, 2016 at 2:13 pm |
Tulisannya bagus. Sampai ketemu di Bootcamp yaa 😉
March 10, 2016 at 1:03 am |
[…] Tiga Kenangan dan Sekeping Harapan […]