Menularkan “Api” yang Tak Kunjung Padam

IMG-20141214-04195Never stop. Never stop fighting. Never stop dreaming.
—Tom Hiddleston

Bagi sebagian orang, kata “pensiun” amatlah menggetarkan. Satu babak dalam hidup yang membutuhkan energi spesial untuk melewatinya—meskipun kita bisa mengganti kata tersebut dengan nama lain misalnya “purna tugas”, “purna bakti”, atau “usia emas”. Dari sebuah kedudukan dan berkantor, menjadi orang rumahan; dari posisi dibutuhkan dan dihormati banyak orang, menjadi pribadi yang “bukan siapa-siapa” lagi. Ini biasanya disertai spirit hidup yang mengendur.

Namun, ini tidak berlaku bagi ayah mertua saya. Ia tak pernah mengizinkan “kerepotan” hidup berkurang dan termangu menunggu waktu berlalu hari lepas hari. Tidak. Dalam masa persiapan pensiun, ia sudah sibuk bukan main mengembangkan hobinya. Mula-mula, ia memelihara burung. Bukan sekadar beli dan ditaruh jadi “hiasan”. Tidak. Ia membeli buku dan majalah serta menjelajah internet untuk mendalami jenis-jenis burung, bagaimana perawatan yang prima, bahkan sampai cara beternak dalam skala rumahan. Setiap pagi ia sibuk membersihkan kandang, memberi makan, memajangnya di sepanjang teras. “Tangan dingin” membuat burung-burung itu beranak pinak hingga kemudian semuanya dijual karena ayah memutuskan untuk pindah kota.

Di rumah masa pensiunnya, ayah mulai belajar bercocok tanam hidroponik menggunakan lahan di samping dan depan rumah. Ia kembali belajar melalui buku, majalah, dan internet. Mencoba, gagal, mencoba, dan terus hingga berhasil. Kini, selada air dan kangkung tersedia kapan pun untuk dimasak. Buah-buahan pun tak luput ditanamnya.

Pada saat ke Jakarta untuk sebuah acara dan hendak pulang, ayah dengan girang memanen buah hasil kebun mungilnya. Ransel saya dijejali sekantung penuh untuk dibawah ke Yogyakarta sebagai oleh-oleh bagi putri dan cucunya. Beban bawaan pulang saya pun kian berat, namun sepanjang perjalanan itu saya dipenuhi rasa haru. Harga buah di ransel saya tidaklah mahal, namun maknanya tak ternilai oleh mata uang mana pun. Apalagi spirit untuk terus mengobarkan “api” dalam dada dalam menjalani hidup ini. “Terima kasih, Pa, untuk teladannya.”

Tags: , , ,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s


%d bloggers like this: